Friday, 8 January 2016

Batuan Metamorf

2.1.            Pengertian Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari proses metamorfisme batuan-batuan sebelumnya karena perubahan temperatur dan tekanan. Metamorfisme terjadi pada keadaan padat (padat ke padat) meliputi proses kristalisasi, reorientasi dan pembentukan mineral-mineral baru serta terjadi dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dengan lingkungan batuan asalnya terbentuk. Banyak mineral yang mempunyai batas-batas kestabilan tertentu yang jika dikenakan tekanan dan temperatur yang melebihi batas tersebut maka akan terjadi penyesuaian dalam batuan dengan membentuk mineral-mineral baru yang stabil. Disamping karena pengaruh tekanan dan temperatur, metamorfisme juga dipengaruhi oleh fluida, dimana fluida (H2O) dalam jumlah bervariasi di antara butiran mineral atau pori-pori batuan yang pada umumnya mengandung ion terlarut akan mempercepat proses metamorfisme.

2.2.            Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Karakteristik Batuan Metamorf
1.                  Komposisi Mineral Batuan Asal
2.                  Temperatur dan Tekanan Selama Metamorfosis
3.                  Pengaruh Gaya Tektonik
4.                  Pengaruh Fluida

2.3.            Klasifikasi Batuan Metamorf
Batuan metamorf diklasifikasikan berdasakan ada atau tidaknya foliasi. Foliasi adalah struktur planar pada batuan metamorf yang disebabkan oleh pengaruh tekanan diferensial saat proses metamorfosis.
1.      Tidak Terfoliasi
Kelas ini diklasifikasikan lagi menurut komposisi mineralnya, yaitu :
a.                   Marmer terdiri dari butiran kalsit berukuran kasar. Jika batuan asalnya adalah dolomit, namanya menjadi marmer dolomit.
b.                  Kuarsit terdiri dari butiran kuarsa yang terlaskan bersama dan terikat kuat pada temperatur tinggi.
c.                   Hornfels berukuran butir sangat halus. Hornfels mika berasal dari serpih dan hornfels amphibole berasal dari basalt.
2.      Terfoliasi
Kelas ini diklasifikasikan lagi menurut tipe foliasinya. Makin jelas foliasinya, makin tinggi derajat metamorfosisnya (menandakan makin tingginya tekanan/temperatur).
Tabel 2.1 Klasifikasi Tipe Foliasi Batuan Metamorf
Derajat metamorfosis
Struktur
Nama Batuan
Mineral Penciri
Karakter Khas
Makin rendah
Slaty
Slate/Batusabak
Lempung, silika melembar
Butiran sangat halus. Kilap earthy. Mudah membelah menjadi lembaran tipis datar.
Slaty – Schistose
Phyllite
Mika
Butiran halus. Kilap sutra. Membelah mengikuti permukaan bergelombang.
Schistose
Schist
Biotit, amfibol muskovit
Berkomposisi mineral melembar dan memanjang dengan susunan mendatar. Variasi mineral yang luas.
Gneissic
Gneiss
Feldspar, kuarsa, amfibol, biotit
Mineral gelap dan terang terpisah dan membentuk perlapisan atau lenses. Perlapisan mungkin berlipat. Lapisan gelap: biotit, hornblende; lapisan terang: felspar, kuarsa

2.4.            Jenis-jenis Metamorfisme
1.      Metamorfisme Kontak/Termal
Metamorfisme ini faktor dominannya ialah temperatur tinggi. Tekanan confining (tekanan yang pengaruhnya sama besar ke semua permukaan benda) juga berpengaruh, namun tidak signifikan. Kebanyakan terjadi < 10 km di bawah permukaan Bumi. Metemorfisme kontak terjadi pada batuan intrusi jika ada magma yang mengintrusi batuan tersebut. Prosesnya menghasilkan efek yang dikenal dengan sebutan baking effect. Zona kontak ini (disebut aureole) tidak terlalu luas, hanya sekitar 1 – 100 meter. Karena tekanan diferensial (tekanan yang pengaruhnya tidak sama besar ke semua permukaan benda) juga tidak terlalu signifikan, batuan metamorf yang terbentuk biasanya tidak terfoliasi.

2.      Metamorfisme Regional/Dinamotermal
Metamorfisme ini terjadi pada kedalaman yang signifikan yakni > 5 km. Batuan jenis ini merupakan yang paling banyak tersingkap di permukaan. Biasanya pada dasar pegunungan yang bagian atasnya tererosi. Batuan dari proses ini kebanyakan terfoliasi, menandakan tingginya tingkat tekanan diferensial (akibat gaya tekonik). Temperatur saat terjadi proses ini bervariasi, tergantung oleh kedalaman dan kehadiran badan magma. Kehadiran mineral indeks dapat menentukan tingkat tekanan dan temperatur proses rekristalisasi. Contohnya: schisthijau dan batuschist yang mengandung mineral klorit, aktinolit, dan plagioklas kaya sodium, terbentuk pada P & T lebih rendah; sedangkan amphibolit yang mengandung hornblende, plagioklas feldspar, dan terkadang garnet, terbentuk pada P & T lebih tinggi.

2.5.            Struktur dan Tekstur Batuan Metamorf
Struktur merupakan bentuk dari handspecimen atau masa batuan yang lebih besar. Struktur dibedakand ari teksture berdasarkan skalanya diman teksture merupakan bentuk mikroskopis yang sidudun oleh ukuran, bentuk, orientasi, dan hubungan butirnya. Pada batuan metamorf struktur terjadi karena proses deformasi.
Teksture pada batuan metamorf:
a)                  Teksture foliasi, yaitu adanya kesejajaran orientasi mineral yang memperlihatkan adanya perlapisan dan kenampakan kelurusan. Contoh tekstur ini, yaitu:
1.                  Tekstur slaty, butirannya sangat halus (< 0,1 mm), kelurusan pada orientasi planardan subplanar, pecahannya berlembar. Contoh batuannya adalah slate.
2.                  Tekstur phylitic, berbutir sangat halus sampai halus (kurang dari 0,5 mm), contoh batuannya adalah phylite.
3.                  Tekstur schistose, berbutir halus sampai sangat kasar (>1 mm), contoh batuannya adalah schist.
4.                  Tekstur gneissose, berbutir halus sampai sangat kasar, memperlihatkan perlapisan karena adanya perbedaan mineralogi.
5.                  Tekstur foliasi porphyroblastik, berbutir sangat halus sampai sangat kasar dengan ukuran kristal yang besar (porphyroblastik) tertanam didalam matriks berfoliasi berukuran halus
6.                  Tektur mylonite.

b)                 Tekstur diablastik, tekstur yang dicirikan dengan tidak adanya kesejajaran buturan, berorientasi radial sampai acak, contoh tekstur ini adalah:
1.                  Tekstur sheaf, tekstur yang memperlihatkan kelompok butiran yang berdabang.
2.                  Tekstur spherolublastik, yaitu tekstur yang memperlihatkan kelompok butiran yang radial.
3.                  Tekstur fibroblastic, tekstur diablastik yang berukuran sama

c)                  Tekstur grano blastik
1.                  Tekstur homogranular, merupakan tekstur yang memperlihatkan ukuran butir yang hamper sama.
2.                  Tekstur heterogranular, merupakan teksture yang memperlihatkan ukuran butir yang tidak seragam.
3.                  Tekstur heterogranoblastik, merupakan tekstur yang dicirikan oleh kumpulam mineral yang sama taapi dengan ukuran yang beragam.
4.                   Tekstur tekstur nodularblastik, merupakan tekstur yang memiliki nodular yang tersusun oleh mineral kecil dengan satu atau dua mineral dalam matrik yang memiliki komposisi berbeda.

2.6.            Facies Metamorfisme
Facies merupakan suatu pengelompokkan mineral-mineral metamorfik berdasarkan tekanan dan temperatur dalam pembentukannya pada batuan metamorf. Setiap facies pada batuan metamorf pada umumnya dinamakan berdasarkan jenis batuan (kumpulan mineral), kesamaan sifat-sifat fisik atau kimia.
Dalam hubungannya, tekstur dan struktur batuan metamorf sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur dalam proses metamorfisme. Dan dalam facies metamorfisme, tekanan dan temperatur merupakan faktor dominan, dimana semakin tinggi derajat metamorfisme (facies berkembang), struktur akan semakin berfoliasi dan mineral-mineral metamorfik akan semakin tampak kasar dan besar.

Gambar 2.1 Facies Metamorfisme

2.7.            Penamaan dan Klasifikasi Batuan Metamorf
Tatanama batuan metamorf secara umum tidak sesismatik penamaan batuan beku atau sedimen. Kebanyakan nama batuan metamorf didasarkan pada kenampakan struktur  dan teksturnya. Untuk memperjelas banyak dipergunakan kata tambahan yang menunjukkan ciri khusus batuan metamorf tersebut, misalnya keberadaan mineral pencirinya (contohnya sekis klorit) atau nama batuan beku yang mempunyai komposisi  yang sama (contohnya granite gneiss). Beberapa nama batuan juga berdasarkan jenis mineral penyusun utamanya (contohnya kuarsit) atau dapat pula dinamakan berdasarkan fasies metamorfiknya (misalnya granulit).
Selain batuan yang penamaannya berdasarkan struktur, batuan metamorf lainnya yang banyak dikenal antara lain :
a.                   Amphibolit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar dan mineral utama penyusunnya adalah amfibol(umumnya hornblende) dan plagioklas. Batuan ini dapat menunjukkan schystosity bila mineral prismatiknya terorientasi.
b.                   Eclogit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar dan mineral penyusun utamanya adalah piroksen ompasit (diopsid kaya sodium dan aluminium) dan garnet kaya pyrope.
c.                    Granulit, yaitu tekstur batuan metamorf dengan tekstur granoblastik yang tersusun oleh mineral utama kuarsa dan felspar serta sedikit piroksen dan garnet. Kuarsa dan garnet yang pipih kadang dapat menunjukkan struktur gneissic.
d.                   Serpentinit, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineralnya hampir semuanya berupa mineral kelompok serpentin. Kadang dijumpai mineral tambahan seperti klorit, talk dan karbonat yang umumnya berwarna hijau.
e.                    Marmer, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral karbonat (kalsit atau dolomit) dan umumnya bertekstur granoblastik.
f.                    Skarn, Yaitu marmer yang tidak murni karena mengandung mineral calc-silikat seperti garnet, epidot. Umumnya terjadi karena perubahan komposisi batuan disekitar kontak dengan batuan beku.
g.                    Kuarsit, Yaitu batuan metamorf yang mengandung lebih dari 80% kuarsa.
h.                   Soapstone, Yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral utama talk.

i.                     Rodingit, Yaitu batuan metamorf dengan komposisi calc-silikat  yang terjadi akibat alterasi metasomatik batuan beku basa didekat batuan beku ultrabasa yang  mengalami serpentinitasi

Saturday, 2 January 2016

Fisiografi/ Gambaran Umum Tektonik Gunung Ungaran

Fisiografi Gunung Ungaran

1.  Fisiografi Regional
Pulau Jawa secara fisiografi dan struktural, dibagi atas empat bagian utama (Bemmelen, 1970) yaitu: – Sebelah barat Cirebon (Jawa Barat) – Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang) – Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) – Cabang sebelah timur Pulau Jawa, meliputi Selat Madura dan Pulau Madura Jawa Tengah merupakan bagian yang sempit di antara bagian yang lain dari Pulau Jawa, lebarnya pada arah utara-selatan sekitar 100 – 120 km. Daerah Jawa Tengah tersebut terbentuk oleh dua pegunungan yaitu Pegunungan Serayu Utara yang berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah timur serta Pegunungan Serayu Selatan yang merupakan terusan dari Depresi Bandung di Jawa Barat.
Pegunungan Serayu Utara memiliki luas 30-50 km, pada bagian barat dibatasi oleh Gunung Slamet dan di bagian timur ditutupi oleh endapan gunung api muda dari Gunung Rogojembangan, Gunung Prahu dan Gunung Ungaran.
Gunung Ungaran merupakan gunung api kuarter yang menjadi bagian paling timur dari Pegunungan Serayu Utara. Daerah Gunung Ungaran ini di sebelah utara berbatasan dengan dataran aluvial Jawa bagian utara, di bagian selatan merupakan jalur gunung api Kuarter (Sindoro, Sumbing, Telomoyo, Merbabu), sedangkan pada bagian timur berbatasan dengan Pegunungan Kendeng. Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan geosinklin yang memanjang dari barat ke timur (Bemmelen, 1970).

Gambar 1 Sketsa Fisiografi Pulau Jawa Bagian Tengah (Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970, dengan modifikasi)

2.  Tektonik Ungaran
Gunung Ungaran selama perkembangannya mengalami ambrolan-tektonik yang diakibatkan oleh pergeseran gaya berat karena dasarnya yang lemah. Gunung Ungaran tersebut memperlihatkan dua angkatan pertumbuhan yang dipisahkan oleh dua kali robohan (Zen dkk., 1983). Ungaran pertama menghasilkan batuan andesit di Kala Pliosen Bawah, di Pliosen Tengah hasilnya lebih bersifat andesit dan berakhir dengan robohan. Daur kedua mulai di Kala Pliosen Atas dan Holosen. Kegiatan tersebut menghasilkan daur ungaran kedua dan ketiga.
Struktur geologi daerah Ungaran dikontrol oleh struktur runtuhan (collapse structure) yang memanjang dari barat hingga tenggara dari Ungaran. Batuan volkanik penyusun pre-caldera dikontrol oleh sistem sesar yang berarah barat laut-barat daya dan tenggara-barat daya, sedangkan batuan volkanik penyusun post-caldera hanya terdapat sedikit struktur dimana struktur ini dikontrol oleh sistem sesar regional (Budiardjo et al. 1997).

Gambar 2 Blok diagram struktur volkano-tektonik Ungaran Tua (akhir Pleistosen). (Bemmelen,1943 vide Bemmelen, 1970 dengan perubahan)

       Karakteristik Gunung Ungaran
1. Sifat Magma
Kenampakan Gunung Ungaran yang mengerucut dan tidak terlalu terjal dapat mengindikasikan bahwa Gunung Ungaran termasuk gunungapi bertipe strato. Tipe gunung api strato termasuk tipe gunungapi yang memiliki magma yang bersifat tidak terlalu asam ataupun basa, sehingga dapat disimpulkan bahwa Gunung Ungaran memiliki magma yang bersifat intermediet dan agak kental.
2. Tipe Letusan
Tipe letusan Gunung Ungaran dapat diketahui dari tipe gunung dan sifat magmanya. Tipe strato dan magma intermediet mengindikasikan bahwa Gunung Ungaran memiliki tipe letusan campuran atau biasa disebut sebagai tipe vulkanisme campuran.
Tipe vulkanisme campuran ini gabungan dari vulkanisme campuran dan vulkanisme letusan. Tipe campuran memiliki tekanan gas menengah sehingga pada saat meletus dapat diperkirakan bahwa gas yang keluar tidak terlalu banyak namun juga tidak sedikit. Pada saat meletus, Gunung Ungaran akan menyemburkan sebagian lava dan sebagian lava lagi meleleh.
3. Jenis Litologi yang Berkembang
Menurut Budiardjo et. al. (1997), stratigrafi daerah Ungaran dari yang tua ke yang muda adalah sebagai berikut:
§    Batugamping volkanik
§    Breksi volkanik III
§    Batupasir volkanik
§    Batulempung volkanik
§    Lava andesitik
§    Andesit porfiritik
§    Breksi volkanik II
§    Breksi volkanik I
§    Andesit porfiritik
§    Lava andesit
§    Aluvium
Pada saat dilakukan praktikum lapangan di Gunung Kendalisada, kerucut parasit Gunung Ungaran, dapat ditemukan lava andesit yang berwarna abu-abu, kuning, dan merah. Lava andesit tersebut memiliki komposisi hornblende, biotite, kuarsa, pirit, dan plagiocase. Adanya perbedaan warna pada lava andesit terjadi karena proses-proses yang terjadi. Lava andesit warna kuning mengindikasikan adanya kontaminasi sulfur yang menunjukan bahwa adanya aktivitas magma. Sedangkan lava andesit berwarna merah menunjukan adanya kandungan mineral lain atau karena terjadinya proses oksidasi.
Selain lava andesit, dapat juga ditemukan mineral lempung yang merupakan hasil dari alterasi akibat adanya aktivitas magma. Aktivitas magma ini memicu terjadinya proses alterasi batuan beku menjadi mineral lempung yang dipengaruhi oleh proses hidrotermal.
Litologi yang didapati pada saat praktikum lapangan sesuai dengan sifat magma yang dimiliki Gunung Ungaran. Lava andesit yang ditemukan merupakan litologi yang berasal dari magma intermediet. Magma intermediet ini dimiliki oleh gunungapi tipe strato yang mengerucut namun tidak terlalu terjal dan tinggi sesuai dengan kenampakan peta lapangan dan hasil sayatan peta topografi yang telah dibuat pada saat praktikum laboratorium.

Wednesday, 23 December 2015

Bentang Alam Fluvial

Halo guys, apa kabar? Saya Alhamdulillah sehat. semoga kalian juga dalam keadaan sehat selalu amin. minggu ini kita akan membahas mengenai bentang alam fluvial. Penasaran gimana isi? ini dia

2.1 Pengertian Bentang Alam Fluvial
Bentang alam fluvial merupakan satuan geomorfologi yang pembentukannya erat hubungannya dengan proses fluviatil.  Proses fluviatil  itu sendiri adalah semua proses yang terjadi di alam baik fisika, maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan bentuk permukaan bumi, yang disebabkan oleh aksi air permukaan, baik yang merupakan air yang mengalir secara terpadu (sungai), maupun air yang tidak terkonsentrasi (sheet water). Proses fluviatil akan menghasilkan suatu bentang alam yang khas sebagai akibat tingkah laku air yang mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk dapat terjadi karena proses erosi maupun karena proses sedimentasi yang dilakukan oleh air permukaan. Proses fluviatil ini bervariasi intensitasnya. Air permukaan merupakan salah satu mata rantai dari siklus hidrologi. Adanya air permukaan sangat dikontrol oleh adanya air hujan.

2.2  Proses Fluvial
2.2.1 Proses sedimentasi
Proses sedimentasi terjadi ketika sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya. Apabila tenaga angkut semakin berkurang, maka material yang berukuran kasar akan diendapkan terlebih dahulu baru kemudian diendapkan material yang lebih halus. Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan besarnya energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hillir ukuran butir material yang diendapkan semakin halus.
2.2.2  Proses erosi
Erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
Ø Quarrying, yaitu pendongkelan batuan yang dilaluinya.
Ø Abrasi, yaitu penggerusan terhadap batuan yang dilewatinya.
Ø Scouring, yaitu penggerusan dasar sungai akibat adanya ulakan sungai, misalnya pada daerah cut off slope pada Meander.
Ø Korosi, yaitu terjadinya reaksi terhadap batuan yang dilaluinya.
Berdasarkan arahnya, erosi dapat dibedakan menjadi :
Ø Erosi vertikal, erosi yang arahnya tegak dan cenderung terjadi pada daerah bagian hulu dari sungai menyebabkan terjadinya pendalaman lembah sungai.
Ø Erosi lateral, yaitu erosi yang arahnya mendatar dan dominan terjadi pada bagian hilir sungai, menyebabkan sungai bertambah lebar .
Ø Erosi yang berlangsung terus hingga suatu saat akan mencapai batas dimana air sungai sudah tidak mampu mengerosi lagi dikarenakan sudah mencapai erosion base level.
Erosion base level ini dapat dibagi menjadi
Ø ultimate base level yang base levelnya berupa permukaan air laut
Ø temporary base level yang base levelnya lokal seperti permukaan air danau, rawa, dan sejenisnya.
Intensitas erosi pada suatu sungai berbanding lurus dengan kecepatan aliran sungai tersebut. Erosi akan lebih efektif bila media yang bersangkutan mengangkut bermacam-macam material. Erosi memiliki tujuan akhir meratakan sehingga mendekati ultimate base level. 
2.2.3  Proses Transportasi
Proses perpindahan / pengangkutan material oleh suatu tubuh air yang dinamis yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai sebagai efek dari gaya gravitasi
Dalam membahas transportasi sungai dikenal istilah:
Ø stream capacity : jumlah beban maksimum yang mampu diangkat oleh aliran sungai
Ø stream competance : ukuran maksimum beban yang mampu diangkut oleh aliran sungai.
Sungai mengangkut material hasil erosinya secara umum melalui dua mekanisme, yaitu:
Ø Mekanisme bed load: pada proses material-material tersebut terangkut sepanjang dasar sungai, dibedakan menjadi beberapa cara, antara lain :
v Traction : material yang diangkut terseret di dasar sungai.
v Rolling : material terangkut dengan cara menggelinding di dasar sungai.
v Saltation : material terangkut dengan cara menggelinding pada dasar sungai.
Ø Mekanisme suspended load: material-material terangkut dengan cara melayang dalam tubuh sungai, dibedakan menjadi :
v Suspension : material diangkut secara melayang dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan sungai menjadi keruh.
v Solution : material terangkut, larut dalam air dan membentuk larutan kimia.

2.3   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi
 2.3.1   Kecepatan Aliran Sungai
Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai, bila membelok maka kecepatan maksimal ada pada daerah cut off slope (terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi jika kecepatan sungai menurun atau bahkan hilang.
 2.3.2   Gradien/ Kemiringan Lereng Sungai
Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam ke dataran yang lebih rendah maka kecepatan air akan berkurang dan tiba-tiba hilang sehingga menybabkan pengendapan pada dasar sungai. Bila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan meningkat sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman lembah.
2.3.3   Bentuk Alur Sungai
Aliran sungai akan menggerus bagian tepi dan dasar sungai. Semakin besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir lebih lambat. Sungai yang dalam, sempit dan permukaan dasarnya tidak kasar, aliran airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal dan permukaanya tidak kasar, atau sempit, dalam tetapi permukaan dasarnya kasar maka aliran airnya lambat.
2.3.4    Discharge
Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi dan transportasi terjadi karena besarnya kecepatan aliran sungai dan discharge.

2.4  Pola Pengaliran

Gambar 2.1 Pola Pengaliran Sungai

2.4.1  Pola Aliran Dendritik
Pola aliran dendritik adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya. Sebagai contoh sungai yang mengalir diatas batuan yang tidak/kurang resisten terhadap erosi akan membentuk tekstur sungai yang halus (rapat) sedangkan pada batuan yang resisten (seperti granit) akan membentuk tekstur kasar (renggang). Tekstur sungai didefinisikan sebagai panjang sungai per satuan luas. Mengapa demikian ? Hal ini dapat dijelaskan bahwa resistensi batuan terhadap erosi sangat berpengaruh pada proses pembentukan alur-alur sungai, batuan yang tidak resisten cenderung akan lebih mudah dierosi membentuk alur-alur sungai. Jadi suatu sistem pengaliran sungai yang mengalir pada batuan yang tidak resisten akan membentuk pola jaringan sungai yang rapat (tekstur halus), sedangkan sebaliknya pada batuan yang resisten akan membentuk tekstur kasar.

2.4.2  Pola Aliran Radial
Pola aliran radial adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak gunungapi atau bukir intrusi. Pola aliran radial juga dijumpai pada bentuk-bentuk bentangalam kubah (domes) dan laccolith. Pada bentang alam ini pola aliran sungainya kemungkinan akan merupakan kombinasi dari pola radial dan annular.
2.4.3  Pola Aliran Rectangular 
Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang resistensi terhadap erosinya mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar yang mempunyai dua arah dengan sudut saling tegak lurus. Kekar pada umumnya kurang resisten terhadap erosi sehingga memungkinkan air mengalir dan berkembang melalui kekar-kekar membentuk suatu pola pengaliran dengan saluran salurannya lurus-lurus mengikuti sistem kekar. Pola aliran rectangular dijumpai di daerah yang wilayahnya terpatahkan. Sungai-sungainya mengikuti jalur yang kurang resisten dan terkonsentrasi di tempat tempat dimana singkapan batuannya lunak. Cabang-cabang sungainya membentuk sudut tumpul dengan sungai utamanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola aliran rectangular adalah pola aliran sungai yang dikendalikan oleh struktur geologi, seperti struktur kekar (rekahan) dan sesar (patahan). Sungai rectangular dicirikan oleh saluran-saluran air yang mengikuti pola dari struktur kekar dan patahan.
2.4.4  Pola Aliran Trellis 
Geometri dari pola aliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai bentuk pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellis dicirikan oleh sungai yang mengalir lurus di sepanjang lembah dengan cabang-cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua sisinya. Sungai utama dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak lurus sehingga menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis) dan dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai trellis dicirikan oleh saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran utama berarah searah dengan sumbu lipatan.
2.4.5  Pola Aliran Sentripetal  
Pola aliran sentripetal merupakan ola aliran yang berlawanan dengan pola radial, di mana aliran sungainya mengalir ke satu tempat yang berupa cekungan (depresi). Pola aliran sentripetal merupakan pola aliran yang umum dijumpai di bagian barat dan barat laut Amerika, mengingat sungai-sungai yang ada mengalir ke suatu cekungan, di mana pada musim basah cekungan menjadi danau dan mengering ketika musin kering. Dataran garam terbentuk ketika air danau mengering.
2.4.6  Pola Aliran Annular 
Pola aliran annular adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu dan ke arah hilir aliran kembali bersatu. Pola aliran annular biasanya dijumpai pada morfologi kubah atau intrusi loccolith.
2.4.7  Pola Aliran Paralel (Pola Aliran Sejajar)  
Sistem pengaliran paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk oleh lereng yang curam/terjal. Dikarenakan morfologi lereng yang terjal maka bentuk aliran-aliran sungainya akan berbentuk lurus-lurus mengikuti arah lereng dengan cabang-cabang sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel terbentuk pada morfologi lereng dengan kemiringan lereng yang seragam. Pola aliran paralel kadangkala mengindikasikan adanya suatu patahan besar yang memotong daerah yang batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam. Semua bentuk dari transisi dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan paralel.

2.5  Klasifikasi Stadia Sungai
Sungai yang mengalir termasuk air permukaan. Berdasarkan stadia erosinya,
sungai dibedakan menjadi :
2.5.1 Sungai Muda
sungai dengan ciri-ciri :
Ø  Penampang melintang sungai berbentuk huruf V
Ø  Banyak dijumpai air terjun
Ø  Tidak terjadi pengendapan
Ø  Erosi vertikal efektif
Ø  Relatif lurus dan mengalir di atas batuan induk
2.5.2 Sungai Dewasa
sungai dengan ciri-ciri :
Ø  Penampang melintang sungai berbentuk huruf U
Ø  Erosi relatif kecil
Ø  Bermunculan cabang-cabang sungai
Ø  Erosi lateral efektif
2.5.3 Sungai Tua
sungai dengan ciri-ciri :
Ø  Penampang melintang sungai berbentukcawan
Ø  Erosi lateral sangat efektif
Ø  Anak sungai lebih banyak
Ø  Bermeander
Ø  Kemiringan datar

2.6  Contoh-Contoh Bentang Alam Fluvial
2.6.1  Meander
Belokan tajam pada sungai, biasanya terjadi pada dalam suatu rangkaian, yang disebabkan  karekteristik dari aliran air. Meander terbentuk pada aliran endapan sedimen dan berhenti diatas aliran karena terhalang.
2.6.2  Meander cut off
Meander cutoff merupakan meander yang terbentuk akibat aliran yang melewati bagian sempit dari leher meander, di mana aliran ke bawah telah berpindah dari meander yang telah melambat dan meander berikutnya telah mengambil aliran tersebut.
2.6.3  Flood Plain
Food plain adalah suatu level area pada daratan untuk memprediksi banjir dari tubuh air yang berdekatan. Flood plain digambarkan dari frekuensi banjir yang sudah terjadi.
2.6.4  Stream divide
Stream divide merupakan pembagian arus sungai berdasarkan dasar sungai dan arah alirannya tersebut. Pembagian tersebut, yaitu branch, beck, burn, creek, kill, lick, rill, river syke, bayou, rivulet, run.
2.6.5  River terrace
River terrace merupakan teras sungai yang tampak sepanjang sisi lembah, biasanya sejajar dengan tembok lembah. Kebanyakan terraces terbentuk ketika erosi pada sungai meningkat dan melewati flood plain.
2.6.6  Channel Bar
Channel Bar adalah endapan sungai yang terdapat pada tengah alur sungai.
2.6.7  Point bar
Point Bar adalah endapan sungai yang terdapat pada tepi alur sungai.

2.6.8  Natural leveess
Natural levees merupakan pemanjangan dari tanggul terdiri dari pasir dan lanau dan terendapkan sepanjang tepi sungai selama masa banjir.
2.6.9  Back Swamp
Back swamp merupakan rawa yang mengalami penurunan area floodplain antara natural levees dan pada tepi floodplain
2.6.10  Braided stream
Braided stream adalah arus yang mengalir pada beberapa terusan yang terbagi dan yang bersatu. Braided stream terbentuk pada bagian hilir sungai yang memiliki slope hampir datar-datar, alurnya luas, dan dangkal.
2.6.11  Oxbow lake
Oxbow lake merupakan meander pada awalnya karena adanya pemotong pada arus akibat pelurusan air, maka terbentuklah struktur seperti tapal kuda, struktur ini dinamakan oxbow lake.
2.6.12  Crevasse splay
Crevasse splay merupakan kenampakan roman muka bumi yang terbntuk akibat arus berlebih memotong levee dan endapan sedimen pada floodplain. Hal ini dapat membuat endapan yang sangat besar sehingga menjadi delta.
2.6.13  Alluvial fan
Alluvial fan berbentuk seperti kipas, merupakan akumulasi dari endapan alluvial pada mulut jurang atau aliran anak sungai dengan arus utama.
2.6.14  Channel fill
Channel fill merupakan akumulasi pasir detritus pada arus di mana kapasitas transportasi dari air tidak mampu untuk memindahkan material secara berulang.
2.6.15  Overbank
Overbank merupakan penggambaran dari tipe  endapan alluvial atau sediment yang terendapkan pada floodplain di sungai. Biasanya endapan berbutir halus.
2.6.16  Flood basin
Flood basin merupakan daerah di bawah permukaan air selama air tinggi karena banjir pada daerah tertentu.

2.7  Skala Wenworth
Tabel 2.1 Pemilahan ukuran butir didasarkan skala Wentworth
Nama Butir
Besar Butir (mm)
Bongkah
256
Berangkal
256-64
Kerakal
64-4
Pasir sangat kasar
4-2
Pasir kasar
2-1
Pasir sedang
1-½
Pasir halus
½-¼
Pasir sangat halus
¼-1/8
Lanau
1/16-1/256
Lempung
1/256

2.8  Klasifikasi Van Zuidam
Tabel 2.2  Klasifikasi Relief Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief
Persen lereng (%)
Beda tinggi (m)
Datar/hampir datar
0-2
<50
Bergelombang landai
3-7
5-50
Bergelombang miring
8-13
25-75
Berbukit bergelombang
14-20
50-200
Berbukit terjal
21-55
200-500
Pegunungan sangat terjal
56-140
500-1000
Pegunungan sangat curam
>140
>1000

Terima kasih buat kalian yang membaca blog saya. silahkan di share untuk keperluan ilmu pengetahuan